Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Bentuk Wanprestasi
Ada tiga bentuk wanprestasi yaitu :
1). Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2). Terlambat memenuhi prestasi.
3). Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Dalam hal penetapan lalai, menggingat adanya bentuk wanprestasi
maka penetapan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak dibutuhkan :
§ Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan
lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian.
§ Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai
diperlukan karena debitur dianggap masih dapat berprestasi.
§ Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge Raad berpendapat
pernyataan lalai perlu tetapi Meijers berpendapat lain, apabila karena
kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang positif,
pernyataan lalai tidak perlu.
Pemutusan perjanjian yang positif adalah dengan prestasi debitur yang
keliru itu menyebabkan kerugian kepada milik lainya dari kreditur, misalnya
dipesan Jeruk Bali dikirim Jeruk jenis lain yang sudah busuk hingga
menyebabkan jeruk-jeruk lainnya dari kreditur menjadi busuk.
Sedangkan pemutusan perjanjian yang negatif adalah dengan prestasi
debitur yang keliru tidak menimbulkan kerugian pada milik laiin kreditur.
Dalam hal ini maka pernyataan lalai diperlukan.
Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur karena
sejak saat itu debitur harus :
1). Mengganti kerugian
2). Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya
kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
3). Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat
meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat
menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut :
1). Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2). Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3). Dapat menuntut penggantian kerugian.
4). Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
5). Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
Sumber : www.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar