Selasa, 28 Desember 2010

KEMISKINAN MENTAL


KEMISKINAN MENTAL

Beberapa bulan terakhir ini, kita semua tak lepas dari wacana kebangkitan bangsa Indonesia. Para politisi, pengusaha, cendekiawan, agamawan, akademisi, mahasiswa, dan hampir semua kalangan, dengan bersemangat membicarakan bagaimana membangkitkan kembali bangsa yang besar ini. Siapa yang harus memulai bekerja keras membangkitkan Indonesia kembali? Para pemimpin? Atau “mereka” di luar sana? Atau justru harus dimulai dari diri kita sendiri?

Pada 2400 tahun yang lalu, berlaku prinsip kill or to be killed, membunuh atau dibunuh. Supaya survive maka harus berperang membunuh musuh. Filosofi survival zaman kehidupan Sun Tzu ini, sesungguhnya masih ada relevansinya! Tentu saja, relevansinya bukan pada membunuh orang lain. Dalam konteks bangsa ini, peperangan sesungguhnya tidak terjadi “di luar sana”, melainkan perang terjadi “di dalam diri kita”. Artinya, kita harus berperang melawan kemiskinan mental yang sekian lama telah membelenggu diri kita.
Apa itu kemiskinan mental? Kemiskinan mental adalah sebuah kondisi mental kejiwaan atau orientasi hidup seseorang yang dipenuhi oleh kebiasaan-kebiasaan negatif, yang sifatnya sangat menghambat kemajuan. Contohnya; malas, pesimistik, prasangka buruk, suka menyalahkan pihak lain, dan iri pada keberhasilan orang lain. Mental miskin juga ditunjukkan dari perilaku yang tidak disiplin, tidak punya kepercayaan diri, tidak bertanggung jawab, tidak jujur, tidak mau belajar, tidak mau memperbaiki diri, dan tidak punya visi ke depan. Inilah peperangan yang harus kita menangkan saat ini.
Bayangkan! Seandainya setiap dari kita, mulai saat ini, detik ini juga, satu demi satu tergerak untuk mengalahkan mental miskin. Berjuang memenangkan medan pertempuran menuju kepada kekayaan mental. Yaitu mental yang penuh rasa tanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, berkemauan untuk selalu belajar, pantang berputus asa, dan memiliki visi ke depan.
Jika kita semua memiliki kekayaan mental, pasti kita akan survive dalam kehidupan yang makin kompetitif. Peluang kita untuk meraih cita-cita akan semakin besar. Dan kita bisa memandang masa depan kita dengan lebih optimistik.
Bukan tidak mustahil, berangkat dari kebangkitan mental diri kita masing-masing, maka kita telah ikut ambil bagian dalam membangkitkan kembali kejayaan negeri tercinta ini. Jadi jelas jawabnya, jika ingin Indonesia berdiri tegak sama terhormatnya dengan bangsa lain, kita semua harus memulainya dari diri kita masing-masing.

Beberapa hari yang lalu, penulis melihat kantor-kantor kecamatan di Balikpapan ramai dikunjungi orang. Bukan puluhan atau ratusan, tapi mungkin dalam hitungan ribuan. Semuanya mengantri dengan sabar untuk mendapatkan giliran berfoto. Tidak ada yang aneh dengan kegiatan tersebut. Namun penulis cukup terhenyak ketika mengetahui, mereka berfoto untuk memperoleh kartu Keluarga Miskin (Gakin).
Yang cukup mengherankan, mayoritas di antaranya bisa dikatakan dalam usia produktif, bahkan ada yang memiliki kalung emas (mungkin imitasi?), motor (pinjaman?), hand phone, dan lain sebagainya. Salah seorang pengantri yang sempat penulis sambangi mengatakan, dengan kartu Gakin mereka bisa memperoleh fasilitas kesehatan, pendidikan gratis plus santunan lainnya. (Walaupun dengan label Keluarga Miskin).
Patut kita hargai itikad pemerintah kota Balikpapan untuk memberikan keringanan kepada warganya. Dengan jumlah penduduk mencapai 500.000-an, hampir 10% di antaranya berada dibawah garis kemiskinan. Wajar jika pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang mempermudah mereka menjalani kehidupan di Balikpapan. Namun, ibarat memberikan umpan tanpa kail, bukankah sia-sia belaka?
Miskin Mental
Memberi memang perbuatan yang mulia. Agama kita pun memberikan tempat terhormat pada para pemberi atau penderma. ”Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah,” kata Rasul. Banyak orang yang menjadikan sedekah atau derma sebagai jimat keberuntungan atau pesugihan yang diridhoi Allah SWT. Mereka percaya, dengan sedekah itulah jabatan dan kekayaannya terjaga.
Maka, kita pun bisa melihat, para politisi ataupun pejabat membuka pintu rumahnya untuk membagi-bagikan amplop uang pada orang-orang miskin. Lalu orang-orang pun berkerumun menyerbu rumahnya, dan menyebutnya dermawan. Orang-orang itupun berdesakan, saling dorong, bahkan ada yang tewas hanya untuk amplop yang isinya tak seberapa.
Kita kadang menikmati kerumunan seperti itu. Saat pembagian zakat fitrah, dan hewan kurban, kita melihat kerumunan orang yang memamerkan pakaian terburuknya, ekspresi wajah memelas, juga dengan tangan-tangan menengadah. Hal yang sama pun terlihat pada kerumunan warga yang menanti giliran berfoto untuk mendapatkan kartu Gakin tersebut.
Penulis menilai, kebanyakan mereka yang berdesakan itu tak hanya miskin materi, namun juga miskin mental. Kemiskinan jenis ini jauh lebih parah, karena sebanyak apapun harta yang dimiliki, ia tetap merasa miskin. Kemiskinan mental seperti itu bukan lagi hanya pada pribadi-pribadi, melainkan telah terakumulasi memasyarakat, membudaya bahkan menjadi prilaku negara.
Advokasi Mental
Melambungnya harga-harga di pasaran memang membanting kehidupan orang bawah. Wajar bila mereka layak mendapat ”kompensasi”. Yang menjadi soal, dalam wujud apa kompensasi itu diberikan. Akan lebih produktif jika diberikan dalam bentuk modal usaha ataupun training (pelatihan) usaha mandiri. Prioritasnya terletak pada advokasi mental. Tujuannya adalah membentuk pribadi-pribadi kuat, tahan banting, dan mampu menaklukkan kemiskinan.
Untuk hal ini, pemerintah Balikpapan perlu memberikan shock therapy kepada warga miskin tersebut. Di antaranya dengan mendata ulang warga yang betul-betul berada di garis kemiskinan, dan menjerat secara hukum warga yang pura-pura miskin. Jadi secara psikologis, tinggal bagaimana individu-individu tersebut menyikapi kemiskinannya, apakah bangga menjadi Gakin ataukah malu.
Kedermawanan adalah hal yang baik. Namun bentuk kedermawanan yang tidak tepat justru dapat menimbulkan akibat panjang. Antri mengular untuk menjadi warga miskin, atau berdemo jika namanya dicoret sebagai Gakin.
Konstitusi kita memang mengamanatkan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kenyataannya ”kemiskinan dan keterlantaranlah” yang dipelihara oleh negara. Bahkan wakil rakyat dan rakyat sama-sama merasa pantas menjadi warga miskin. Miskin materi jelas obatnya, namun miskin mental belum ada obatnya. Kapan bangsa ini bisa bangkit?

Sumber            : http://www.pembelajar.com/perang-dengan-kemiskinan-mental
                         http://idcfm.com/berita/menu-berita/artikel-lepas/963-mengentaskan-kemiskinan-mental.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar